Wednesday, July 29, 2020

YOU VS YOUR TOXIC FRIENDS



Everyone deserves to be surrounded by fun, positive and upbeat people in their life. Sayangnya, kita nggak bisa memungkiri adanya teman yang nyebelin, penjilat, datang kalo ada butuhnya doang, backstabber, dst. Intinya, berteman sama mereka cuma bakalan bikin tekanan darah kalian naik. 

But, we can't deny that all of those negative people have helped you to grow and develop as an individual. So, instead of putting yourself in that self-pity cycle of always like complaining and crying about how those people hurt your feelings, you should better keep reading this article till the end.

Gue punya temen-temen dengan tipe di awal paragraf? Hell yes! And now, I’ll let you know how to respond to those kind of people. Gak semuanya, tapi beberapa aja yang kira-kira berpotensi buat jadi ‘racun’ dalam pergaulan kalian.

#1 The Negative Competitor



Orang tipe ini, gak pandang bulu, semua orang bisa dia anggap sebagai rival. Their life is all about competition. They are always eager to compete on everything no matter how big or small it is. Emang orang tipe ini biasanya punya semangat yang meluap-luap, dan ambisius. Tapi, kalian juga perlu jeli ngeliat temen dengan tipe ini. Untuk mencapai ambisinya dia main bersih apa main kotor. Udah gitu dia tipe orang yang ambisinya cukup masuk akal, nggak penting, atau malah mendekati sarap?

Contoh ambisi yang masuk akal itu, kalo dia ngeliat kalian mencapai sesuatu yang positif, juara olimpiade sains misalnya, lalu dia terpacu semangatnya untuk belajar biar bisa lebih jago. Contoh lain, kalian kerja dengan posisi yang bagus, dia termotivasi untuk meningkatkan kinerjanya di kantor supaya naik gaji atau naik jabatan. It’s OK, wajar. Tapi kalo dia berusaha naik jabatan dengan menjilat atasan alias kissing ass, itu udah mulai gak wajar.

Yang udah mulai gak penting itu, kalo si competitor ini nggak bisa ngukur kemampuannya sendiri sampe harus memenuhi ambisinya dan memenangkan ‘pertarungan tak kasat mata’ yang bikin kalian bereaksi “haelah, penting ya?”

Kenapa gue bilang orang tipe ini berbahaya, karena secara halus dia juga memberikan atmosfir persaingan di antara kalian dan dia. Tanpa sadar kalian merasa punya kewajiban untuk membuat dia kalah. Di tahap ini, kalau nggak hati-hati, semua yang kalian lakukan dalam hidup bukan lagi berdasarkan alasan “ya, gue melakukan ini karena gue mau/ gue melakukan ini demi cita-cita gue/gue melakukan ini untuk kebaikan gue sendiri.” No! Alasan kalian bergeser menjadi: "Tidak mau kalah dari dia dan berusaha membuat dia tersiksa cemburu karena kalian tampak lebih hebat dari berbagai hal." Yang dikhawatirkan adalah, mulai dari sini kalian mulai nggak fokus sama goal utama yang kalian cita-citakan.

Jangan dikira gue ga punya temen kaya begitu. Salah satu temen gue adalah public enemy number ONE. Kompetitif banget orangnya, ambisius dan eng ing eeeeng… Penjilat.

And how do I respond to her?
I ignore her and talk less to her about my personal life, and about what I am planning to. Bukannya gue takut disaingin. Tapi karena gue tahu, orang ambisius yang juga penjilat kaya dia dalam bersaing, opsi paling kotor untuk dimainkan adalah prinsip: kalo nggak bisa melampaui rival, jegal saja rivalmu, dia jatuh, kau tetap berdiri dan menang. Salah satu temen gue sebut saja Kartiyem, udah pernah jadi korban. Gue jadi saksi hidup waktu si negative competitor ini badmouthing Kartiyem habis-habisan di depan dosen pada saat Kartiyem gak masuk kuliah. WTF.

Jauhi deh, makhluk hidup kayak gini. Kalo dia adalah orang yang suka bersaing sehat, persaingan kalian bakalan membawa efek yang positif: menjadi yang terbaik dan terus berkembang. Nah kalo dia tipe competitor yang negatif, gak penting dan suka main curang, mending nggak usah terlalu deket sama dia. 

#2 The Messenger 

Ini adalah tipe orang yang isi omongannya bermodalkan “katanya”, entah bener atau salah, pokoknya dia tipikal penyampai pesan/penyebar info yang negative, pake bumbu sana sini, pake drama pula. Biasanya yang dia sebar adalah gosip. 



Orang kayak gini, biasanya suka kepo banget sama urusan orang lain dan kelakuannya mirip kayak cicak putih alias mata-mata. Dia menginterpretasi tiap adegan yang dia lihat berdasarkan prinsip “kayaknya/kelihatannya”, kupingnya bisa sangat sensitif sama apa yang dia dengar, otaknya udah terlatih untuh menyaring dan merekam. Itu mulutnya bisa dengan lihai memutar kembali apa yang dia dengar dan lihat, biar obrolan makin asik, dia tambahlah dengan beberapa penyedap.

Kalian sendiri pada punya pengalaman masing-masing sama si biang rumpik dalam kehidupan kalian kan? Dan pasti pernah mendengar berita yang dituturkan oleh si messenger yang mana tidak sesuai fakta setelah di konfirmasi kebenarannya. Gimana sesuai fakta kalo berita yang keluar dari mulut messenger satu dengan messenger lainnya udah mengalami modifikasi?! Bayangkan kalo disekeliling kalian ada beberapa orang dengan tipe messenger.

Seriously, you don’t need to be deeply involved in their conversations. You’ll just waste your priceless time. Bahkan, salah-salah komentar, kalimat yang sebenernya nggak punya maksud apa-apa, bisa jadi bahan pemoles berita.

Gue punya temen tipe messenger?
Of course. Tapi intinya, gue nggak mau ikut-ikutan nambahin info. Jadi, gue biasanya pura-pura autis sama HP atau dengerin doang sambil manggut-manggut dan merhatiin ekspresi si messenger menyampaikan ‘pesan’. Biar aman, mending kalian alihkan pembicaraan.

#3 The Debbie Downer

Orang kayak gini idupnya suram terus, no matter how bright the sun shines that day, they always find a way to turn everything negative. Ada aja yang dia keluhkan dan dia selalu melihat sesuatu dari sisi negatifnya seolah-olah dunia ini nggak ada bagus-bagusnya buat ditinggali. 


The Debbie Downer ini sebenernya sikapnya dekat dengan Drama Queen, bedanya drama yang ditampilkan oleh Debbie Downer adalah hal-hal yang berbau pesimisme, kesuraman, dan kepedihan hidup. Bahkan, hal-hal yang sebenernya nggak susah dan nggak perlu dikhawatirkan, bisa jadi sangat menyiksa dia. Lalu dia sebarkan kesuraman hidupnya lewat curhat-curhat tak bermutu dan pointless.

Belum lagi pandangan-pandangan pesimisnya terhadap lingkungan sekitar atau tanggapan pesimis terhadap hidupnya sendiri dan apa yang dilakukan orang lain, termasuk kalian. Kalian berencana melakukan sesuatu, tapi dia terus mengomentari dan menanggapinya dengan negatif. Alih-alih menyemangati dan mendukung, ini orang malah membahas kemungkinan kalian gagal, kalau gagal nanti bakal diketawain orang, dan semacamnya. Malah bikin down sebelum mencoba kan?! 

Why should you get rid The Debbie Downer out of your circle?

Ada dua alasan kenapa lo mending nggak temenan sama Debbie Downer. 
Pertama, selain ngeselin, dia juga bisa bikin kalian down dengan komentarnya yang pesimis terhadap apa yang kalian lakukan atau rencanakan. 
Kedua, karena Debbie Downer menular. Dalam buku 'Three Simple Steps: A Map to Success in Business and Life', Trevor Blake merujuk studi yang dilakukan oleh profesor dan ahli kejiwaan dari Stanford University, Robert Sapolsky, menyatakan bahwa 30 menit berada dalam situasi atau komentar negatif dan keluhan negatif bisa mengikis neuron pada hippocampus, yang mana itu adalah bagian otak yang berperan dalam memecahkan masalah. Gue ulang lagi, the problem solving part of the brain. Jadi dengerin para Debbie Downer ngoceh tentang hal-hal negatif dan pesimistis bisa mengurangi kemampuan kalian untuk memecahkan masalah, and guess what? IT PUTS YOU AT RISK OF ACTING THE SAME WAY.

How to deal with The Debbie Downer?

Kasih tau dia kalo kalian nggak punya waktu untuk keluhan seremeh itu atau keluhan yang berulang-ulang, lalu nasehati dia bahwa mengeluh nggak akan bikin semua masalah selesai.

Untuk menghindari terjebak berteman dengan The Debbie Downer yang lain, kalian musti selektif dan cermat melihat gelagat orang yang baru dikenal. Just don't get trapped listening to this negative people in the first place. Kalo dia udah mengeluh-ngeluh jijay, coba alihkan pembicaraan sesopan mungkin. Jangan sampe The Debbie Downer curhat hingga beberapa kali, karena sekalinya mereka merasa didengarkan, they’ll come to you again and again next time.

#4 The Judge

Tukang menghakimi orang lain dari berbagai segi, ditambah protes, kritik, kadang pakai bonus memberikan label pada orang lain. They are constantly picking apart somene else’s life. They can tell you what someone is doing wrong, how many sinfull things someone has done in their life, tapi nggak pernah sadar kesalahan dia sendiri. Hahahaha. Emang bener ya, gajah di pelupuk mata tak tampak, cewek cakep di kecamatan sebelah tampak #lah

Kerjaannya menilai dan mengkritik terus udah kayak juri. Mending juri ngasih saran supaya kalian bisa lebih baik, lah dia? Your judgemental friend is just trying to lower your value and bring you down. Kenapa mereka begitu? Karena mereka sendiri enggak puas dengan kehidupan mereka dari beberapa segi dan apa yang mereka inginkkan justru ada pada kalian.



Ignore them! Orang kayak begini cuma berusaha bikin kalian berpikir kalo kalian punya banyak kekurangan dan selalu melakukan banyak kesalahan sehingga mereka merasa lebih baik daripada kalian. People who criticize others to this degree are often trying to shift focus from their own issues and behavior by consuming themselves with the life choices of others. Just don't take it personally, because they likely say about their own insecurities and values.

#5 The Ghost

Ini tipe orang yang nggak tau terima kasih. Pas kalian butuh dia, dia menghilang dan nggak mau peduli, tapi justru muncul atau menghubungi kalian terus kalo ada butuhnya aja. Hahahaha, dan orang kaya begini kaya makhluk halus ya?! Kalian pasti maki-maki orang jenis ini dengan umpatan, “SETAN!!!”

#6 Sudden Deaf & The Terrible Listener

Everybody loves to be heard but people are rarely good at listening.



Sayangnya ada orang yang begitu kurang ajar mengabaikan temannya yang lagi ngomong dengan mendadak autis sama HP atau sama hal lain. And you keep talking like they keep listening, but actually they don’t. They don’t even care that you’re talking and they have no idea what you’re talking about. Berasa ngomong sama angin, kan?!

Nah si budeg dadakan ini sama ngeselinnya dengan si penyela pembicaraan. Si Penyela bisa jadi antiklimaks di tengah-tengah kalimat kalian yang belom tuntas. They like interrupting you constantly or stop listening before you finish your statement. Hal ini pada akhirnya bikin kalian nggak mood meneruskan percakapan.



Cara mengatasi kedua tipe manusia ini:

Do:
1. Bilang ke dia, “Tolong dong, dengerin! Gue lagi ngomong sama lo.”
2. Bilang, “Jangan dipotong dulu ya, gue belum selesai. Ini penting.”
3. Bilang dan jelaskan kalo lo pengen menjelaskan sesuatu dengan lebih baik tanpa diinterupsi.

Don’t:
1. Jangan mengungkit betapa seringnya dia memotong atau menyela pembicaraan.
2. Jangan menyatakan betapa nyebelinnya dia karena selalu memotong pembicaraan lo.
3. Hindari kalimat-kalimat yang ngajak berantem ini: “Tau nggak sih, gue capek ngomong kalo lo potong terus.”, “Lo nggak pernah dengerin gue tapi selalu pengen didengerin.”, “Lo tuh selalu motong di tengah-tengah kaya palang pintu kereta.” dan sebangsanya. Jangan, ini memicu kalian berantem.

Kalo interupsi terus berlanjut dan dia nggak berusaha menghilangkan kebiasaan buruknya?
Jangan terpancing marah-marah. Santai aja. Dia memang bukan partner yang baik untuk berbagi.

#7 The Expert of Playing Victim

"Individuals who habitually indulge in self-victimisation (also known as playing the victim) do so for various reasons: to control or influence other people’s thoughts, feelings and actions; to justify their abuse of others; to seek attention; or, as a way of coping with situations. Although they can actually change circumstances to avoid being victimised, they won’t seize the opportunity because they want to play the role and appear as victims to others and themselves." 
Dari definisi di atas, udah ada gambaran? Ya, dia ini tipe orang yang entah kenapa suka menikmati perannya sebagai korban yang diintimidasi orang lain. Biasanya dia suka acting berduka, tertekan, tersakiti, lalu curhat. Dengan begitu orang lain akan merasa berempati padanya, ngerasa kasian dan mulai mendukung atau berpihak pada dia. Orang-orang tipe ini biasanya cuma KURANG PERHATIAN. 

Ini adalah tipe orang yang berpotensi untuk mengadu domba atau bikin orang lain nggak suka sama pihak yang dituduh udah menyakiti dia. Bahkan hal-hal remeh yang bikin dia tersinggung bisa menjelma menjadi hal besar yang parah sementara itu dia siap bermain drama. Yang dikhawatirkan adalah kata-katanya yang berlebihan bisa jadi fitnah. Orang kayak gini biasanya suka menggalang dukungan dari orang lain yang enggak tau apa-apa dan ngemis simpati orang. Hal yang lebih mengerikan adalah ketika kalian tanpa sadar ikut dilibatkan dalam drama tragedi yang mereka bikin sendiri.

Kalian punya temen kaya begini?
Tinggalin! 

You have to let them go if they are leeching onto you, pulling you down, or always stirring up on trouble cause they can be your biggest downfall. This is definitely not a healthy relationship and you just can’t be there all the time for them. If you keep living in this negative relation environment, then this is robbing you of your potential and it is basically making you miserable cause they are just feeding you with negativity, pessimism, anger, constantly. Don't let anyone suck the energy out of your life. Period.


Monday, July 20, 2020

SALAH KAPRAH TA’ARUF MASA KINI




Ciyyyeee Ta’aruf...
Oke, kalem dulu. Pasti kalian udah nggak asing lagi dengan kata Ta’aruf. Apalagi baru-baru ini ada selebriti Indonesia yang tau-tau nikah di usia muda dan ngakunya ta’aruf buat menghindari zina. Iya, mereka bilang, baru kenal dua bulan dan enggak pacaran.

Eits, tunggu!
Apakah ta’aruf sesederhana itu? Enggak pacaran? Langsung tembak, ngajak kawin?
Sayangnya, taa’ruf itu BUKAN ASAL kenal, liat muka; cakep, atau ancur, atau bikin sawan, trus ngobrol bentar baik langsung atau chatting di instant messenger, tau-tau ngajak kawin. Nggak sesederhana itu, Juminten.

Jujur, gue bukan fans dan gue bukan hater dari pasangan muda yang sekarang jadi bahan hujatan orang-orang karena pemahaman mereka yang SALAH KAPRAH tentang ta’aruf. Gue nggak kenal mereka kok, soalnya mereka nggak punya nama yang cukup besar di jagad hiburan. Sampe gue browsing dulu buat nyari tau siapa mereka yang jadi omongan di dunia maya.

FYI, gue bukan orang suci, bukan penceramah, bukan keturunan ustadz atau ustadzah apalagi habib, bukan juga ahli tafsir. Tapi kalo ada kesalahkaprahan di depan mata, gue merasa punya kewajiban buat ikut meluruskan sebelum kesalahkaprahan ini jadi hal yang diidolakan/diagung-agungkan masyarakat awam. Jadi sebelum kalian, remaja bucin, menyanjung mereka dengan sebutan “perfect couple”, “couple goal banget sih!”, “Subhanallah, Islami banget mereka!” dan blablabla, mending kita telaah lagi makna dan aturan ta’aruf.

Kalian yang muslim pasti udah tau kalo kata ta’aruf itu asalnya dari bahasa Arab: “ta’arafa” atau “yata’arafu” yang artinya saling mengenal. Ini dilakukan oleh laki-laki dan perempuan buat mengenal satu sama lain sebelum lanjut ke jenjang pernikahan.

“Kaya pacaran?”
Beda. Kalo pacaran kan biasanya lebih santai, bisa saling kontak langsung, ketemuan, kasih kejutan, kasih mawar atau kembang kuburan, ngobrol, nongkrong bareng di cafe atau pos hansip, dan sebagainya. Tapi pacaran dikhawatirkan akan memicu maksiat.

“Kalau ta’aruf?”
Ta’aruf dilakukan dengan tetap memperhatikan aturan agama Islam. Harus didampingi oleh pihak ketiga yang bisa menjadi penghubung atau perantara berkomunikasi dan memastikan agar syariat Islam tetap dijaga selama proses ta’aruf. Jadi kalian yang ta’aruf nggak bisa jalan berduaan sambil pandang-pandangan menikmati rasanya jatuh cinta sama orang cakep. Sekali lagi, nggak boleh.

“Jadi nggak boleh ya teleponan atau chattingan?”
Jangan. Itu jatohnya bakalan bablas jadi pacaran tanpa status. Kalian cuma membohongi diri sendiri dengan konsep pedekate Islami. Padahal, dalam Islam konsep pendekatan model kaya gitu itu nggak ada.

“Trus gimana caranya mengenal pasangan yang mau dinikahi kalo kontak langsung enggak boleh?”
Nah, itulah peran orang ketiga sebagai perantara. Selain itu, catat ini kalau mau ta’aruf:

1.     Buat tulisan tentang diri sendiri mencakup ciri-ciri fisik, kepribadian, riwayat pendidikan, pekerjaan, acuan akidah atau mahdzab yang dianut, hobi juga boleh ditulis sekalian, trus tulis juga visi misi menikah.

Eits, jangan lupa buat cerita tentang background keluarga, bisa mulai dari orang tua, sodara, dll. Boleh juga kok, kalian menulis tentang apa yang kalian inginkan dari pasangan, misal: ngga mau yang ngerokok, nggak mau sama yang hobby dandan menor, suka yang pribadinya seperti apa, pengetahuan agama, jenjang pendidikan, penampilan fisik kaya gimana, atau bahkan kelas ekonominya.

2.    Kalo kalian belum punya sasaran buat diajakin ta’aruf, jangan bingung. Kalian bisa minta rekomendasi teman, orang tua, guru/dosen, guru ngaji, saudara, dll.

3.    Udah ada sasaran biat diajakin ta’aruf? Datangi orang terdekatnya seperti sahabatnya, sodaranya, bisa juga langsung ngomong ke bapak atau ibunya, sampaikan tulisan yang udah lu bikin. Ntar biar calon pasangan lu baca biodata yang udah lu tulis, dan sebaliknya lu minta biodata dia. Jadi, kalian bisa punya gambaran tentang calon pasangan. Kalo ada hal lain yang mau ditanyakan tentang calon, hubungi orang terdekatnya: orang tua, sahabat, sodaranya, atau guru ngaji dia. JANGAN NYELONONG HUBUNGIN DIA LANGSUNG! Apalagi ngajak ngobrol sambil lari pagi. Itu pedekate namanya!

4.    Setelah ngerasa cocok dan pengen nikahin dia, kalian bisa melakukan nadzar. Nadzar itu ngeliat calon pasangan. Itu bisa dilakukan di rumah calon mempelai perempuan dan HARUS didampingi pihak ketiga. Di tahap ini kalian udah bisa nanya lebih jauh tentang kehidupan yang akan dijalani selama berumah tangga. Contohnya: istri boleh kerja nggak? Suami kudu bantuin pekerjaan rumah tangga apa enggak? Ntar rencananya mau punya anak berapa? Dst.

5.    Baru deh, kalian khitbah atau melamar secara resmi. Apakah harus selalu pihak laki-laki yang melamar? Nggak juga. Wali yang menawarkan anak perempuannya juga boleh melamar calon suami, guys.  Tapi, kalo di Indonesia kebanyakan laki-laki ya yang ngelamar calonnya. Khitbah ini tujuannya buat silaturahmi dan lebih mengenal keluarga. Nggak perlu terlalu meriah sampe bikin pesta-pesta yang malah bikin boros. Nggak baik.

6.    Akad deh. Setelah semua persiapan matang, kalian bisa melakukan akad nikah dan jadi suami istri secara sah dalam agama Islam. Kalian BOLEH BERPESTA mengundang kerabat atau tetangga. Tapi, jangan kebablasan bikin pesta lebay dan mewah tanpa masker di musim pandemi karena PESTA BUKAN SYARAT SAH DAN BUKAN RUKUN PERNIKAHAN.  

Nah, sekarang kalian udah pada tau proses ta’aruf yang bener itu kayak gimana. Jadi, gue harap kalian gak sibuk mengelu-elukan dan mengidolakan para public figure yang menjalani ta’aruf dengan cara yang salah.

“Kalo iri bilang, Boss!”
Nah, fans fanatik biasanya nyeletuk kaya gini kalo ada pembahasan atau kritik terhadap ta’aruf yang salah kaprah. Buat apa iri sama pasangan yang belum paham syariat, Jum? Bukannya minta bimbingan pada ahli agama (kyai, ustadz, atau guru ngaji), tapi udah berani mempublikasikan hubungan “ta’aruf” ngawur dan mengekspos screen capture whatsapp yang saling mereka kirim ke ruang publik? Kalo boleh kasar, ini pembodohan pada masyarakat awam. Gue kuatir, ini bakalan dicontoh sama khalayak kalo nggak cepat-cepat diluruskan.

Sekedar sharing, ada juga kasus salah satu teman gue yang jadi sasaran seorang pemuda yang kemakan euforia para seleb "ta’aruf" ngawur. Temen gue dikejar terus lewat whatsapp. Trus sebelum seleb "ta’aruf" santer dihujat, kasus remaja pacaran berkedok ta’aruf udah banyak di Indonesia. Sampai ada forum ta’aruf di internet (gue lupa namanya) yang isinya cuma orang tukeran nomor HP, dan ga ada bedanya kaya tinder. Ngakunya nggak pacaran, jarang ketemuan, tapi teleponan dan tetap kontak di sosial media. Itu bukan ta’aruf, tapi sekedar LDR, Nyet!

Sekali lagi ya, Readers... Sekedar kenalan, tau nomor telepon, ketemuan dan ngasih bunga (pertemuan antara mempelai itu sangat diminimalisir dalam ta’aruf), ngajakin jogging bareng (bertemu langsung tanpa wali, atau orang yang membantu proses ta’aruf, itu penyimpangan ta’aruf), teleponan, atau chatting, eh ujung-ujungnya nanyain tipe suami/istri idaman, bilang kepengen 'memantaskan diri', blablabla (berkomunikasi tanpa perantara orang ketiga kaya gini aja, udah melanggar syari’at ta’aruf. No hard feeling, ini sih modus), trus ngajak kawin, NGGAK BISA disebut sebagai ta’aruf, guys.
Itu Cuma PERNIKAHAN DADAKAN.

Gue mau mengutip kalimat Wirda Mansur dalam menyikapi ta’aruf ngawur penuh hujatan ini:
“Sejujurnya gue nggak setuju dengan konsep ‘mantesin diri buat seseorang’, tar dianya kepedean, hehehe. Fokus perbaiki diri, nanti kalau kita baik, biar Allah yang mempertemukan dengan yang terbaik. Aamiin”

Capek gue nulis. Tapi kalo ngga ditulis malah jadi uneg-uneg.
Semoga ini bisa jadi pelajaran, guys. Public figure juga manusia, ada yang bisa dijadikan panutan, tapi kelakuan yang keliru harus kita waspadai, jangan sampai kita tiru. So, jangan malas membaca, jangan malas mencari referensi atas hal-hal yang belum kita pahami (terutama hal baru), dan jangan latah!

Ingat kata Wirda Mansur: Fokus perbaiki diri, nanti kalau kita baik, biar Allah yang mempertemukan dengan yang terbaik. Aamiin.

God bless you, guys!


Tuesday, August 6, 2019

Academic Conferences!!!




Gila! Gak kerasa udah tahun 2019 aja. Dan gue emang bukan blogger yang baik karena jarang update. Well, I’ve been through so many things this year. One of them is GOING TO INDIA!!! For a vacation? Hell NO.
Gue ke India buat menghadiri AAS in Asia 2018 Asia in Motion: Geographies and Genealogies tanggal 5-8 Juli di New Delhi. Yup, gue salah satu penyaji dan gue mempresentasikan penelitian gue di sana. Sumpah gue seneng banget dapet kesempatan emas kaya gitu. Tahun depan ngikut lagi ah..... *nagih
Gue jadi keingetan jaman kuliah S1. Temen-temen ngatain gue katanya gue kaya orang India, dan cowo gue juga bilang mata ama bibir gue yang bikin gue mirip kaya orang India. Dan akhirnya keinginan gue buat pergi ke India kesampean juga. Di sana gue presentasi tentang Indonesian and Japanese Fashion Fusion: A Bridge of Cultural Connection or Cultural Appropriation?
Selain negaranya yang punya budaya cukup eksotis (kaya gue heheh), gue juga punya kesempatan sharing ilmu pengetahuan dan gue juga dapet ilmu dari para akademisi lain. Trus gue juga mulai punya channel dengan akademisi dari negara-negara lain yang nantinya bisa gue ajak kolaborasi buat bikin panel penelitian di kemudian hari.
Asik kan?!
By the way, gue mau sharing sedikit foto-foto gue selama di India. Check it out!

















Is that all?! Of course no. I have one more academic event to show you. It’s Japan Studies Association ASEAN Conference that was held in December 6-7, 2018. Lagi-lagi gue mempresentasikan penelitian gue Political Pragmatism of Soka Gakkai Related to the Komeito and Liberal Democratic Party Coalition Agreement to Reinterpret the Article 9 of the Japanese Constitution










Yang bikin gue tambah seneng di event ini adalah kedatangan temen-temen gue waktu di Jepang dulu. Ada Ron, Christopher, Benjamin, Iba, Nemoto Masaya, Prof Sirimornpon, dll. Jadi rasanya kaya reuni mini gitu, dan kita taking pictures bareng sebelum acara bubar.




Nah, kapan-kapan kalo ada academic event lagi pasti bakalan gue posting dah. Oiya, hampir aja lupa, buat kalian semua yang doyan penelitian dan menyukai hal-hal akademis, nih salah satu temen gue ngasih tau kalo di negaranya, Filipina, ada call for paper. Barang kali ada beberapa dari kalian yang udah tau tentang 18th Annual International Conference on Japanese Studies. Jadi, tanpa banyak basa basi lagi mendingan gue kasih aja linknya buat kalian semua. 

Nah, siapin itu paper dan kirimin abstrak kalian.

Good luck! ^_^





Tuesday, October 16, 2018

Guru, Sebagai Programmer Mental Blok Pada Siswa



Sistem pendidikan Indonesia, seperti yang kita rasakan bersama, lebih memperhatikan kinerja otak kiri pelajar. Pelajar dianggap pintar atau bodoh dari sudut pandang penguasaan tata bahasa dan ilmu hitung. Beberapa guru menilai pelajar jurusan IPA lebih membanggakan daripada pelajar jurusan IPS yang memahami sejarah dan politik atau pelajar jurusan bahasa yang komunikatif dan berbakat dalam bidang seni budaya. Akhir dari proses belajar yang lama dan menahun hanya membuahkan goresan hitam diatas putih, bukan pada bakat, inisiatif, potensi dan kemampuan non akademis yang dia miliki. Dampak dari hal tersebut adalah rapuhnya mentalitas dan kreativitas anak bangsa. Padahal tak banyak kawan kita yang memiliki kemampuan non akademis yang bisa dikatakan spesial dan komersial.
Fanatisme pengajar dan orang tua terhadap kemampuan hitung dan tata bahasa pelajar dapat mempengaruhi mental dan psikologi pelajar itu sendiri. Sebutan ‘anak pintar’ ditujukan pada si pecinta matematika dan ‘si lemot’ ditujukan pada pelajar yang menggemari lukisan namun tidak pandai berhitung. Paradigma seperti ini dapat menghambat perkembangan pelajar kita. Hal inilah yang selanjutnya disebut dengan mental blok.

Mental Blok
Mental blok dapat kita artikan sebagai kondisi mental, jiwa, pemikiran dan pola pikir yang menghalangi diri menciptakan perubahan positif. Lebih sederhana lagi, mental blok adalah mentalitas individu yang mempunyai persepsi negatif pada diri sendiri. Hal ini dapat menjadi awal dari citra negatif pada diri sendiri sehingga seseorang tidak mampu mengubah nasib dan tidak berkembang. Mental blok akan menumbuhkan pesimisme yang spontan dan tak terkendali sebab mental blok bergerak di dalam pikiran bawah sadar manusia.
Sebagai pengajar dan pendidik, guru tidak seharusnya menggerogoti pemikiran pelajar dengan pendapat pendapat negatif. Kata kata bodoh, malas, nakal, tidak punya otak, dungu, dan sejenisnya merupakan kata kata yang cukup berbahaya. Sebab pembentukan keyakinan, persepsi dan mentalitas seseorang berasal dari informasi, ucapan, dan bahkan julukan yang tiap hari mereka dengar. Dikata-katai dungu setiap hari misalnya, secara perlahan, bertahap, pelajar akan mulai meyakini dan membenarkan bahwa dia memang bodoh, dungu, lambat berfikir, dan lain lain. Keyakinan yang negatif itulah yang membentuk mental blok. Pribadinya akan menjadi rendah diri dan tidak layak melakukan atau mempelajari apapun.

Para Investor Mental Blok Pada Siswa
            Tidak dapat dipungkiri bahwa orang tua adalah tokoh tokoh utama dalam penanaman keyakinan negatif pada anak. Namun, dengan penuh kesadaran mari berkaca diri dan mengakui bahwa guru dan pendidik, entah dengan sengaja ataupun tidak, turut membentuk persepsi negatif pada diri pelajar. Di sekolah manapun, pada hari apapun, pada pelajaran apapun, guru pasti pernah melontarkan komentar atau kritik destruktif yang diniatkan agar pelajar yang kurang pandai menyadari kekurangannya dan belajar lebih giat.
            Sering saya jumpai, semasa sekolah, pelajar jurusan IPS yang kerap di cap sebagai pembuat ulah dan ‘biang kerusuhan’ tidak pernah membuat perbaikan meski guru guru sudah mencapnya demikian. Insyaf? Tidak. Makin berulah? Iya. Ironisnya, mereka berulah dengan penuh kebanggaan. Mereka telah menjadi korban penanaman mental blok. Dan para guru yang menanamnya.
            Mari menengok pelajar pelajar yang sudah terlanjur di cap bodoh. Apakah mereka menjadi rajin belajar karena dikecam sebagai anak bodoh? Tidak juga. Mereka terlanjur menerima kata kata bodoh sebagai nasib. Bagaimana tidak, bapak dan ibu guru sering menyerukan “Bodohnya kamu ini! Soal macam ini kan baru kemarin saya jelaskan! Masa tidak bisa?!” atau “Kepalamu isi otak, batu, apa tahu sih?!”. Akhirnya pelajar mulai berprasangka buruk pada diri sendiri. Hari hari menjelang ulangan hanya dihabiskan untuk bermain karena dia berfikir tak ada gunanya belajar. Nilai bagus hanya bisa didapat lewat contekan. Sekolah dianggapnya sebagai jembatan mendapat ijasah.

Peran Guru Memangkas Mental Blok Dan Memulihkan Semangat Belajar
            Dengan mengubah kebiasaan, komentar dan tutur kata, kualitas pendidikan di tanah air Indonesia niscaya dapat diperbaiki. Pendidikan bukan hanya tentang seragam dan ijasah. Namun pendidikan sudah sepantasnya berorientasi pada pembentukan karakter pemuda pemudi harapan bangsa. Dan pemuda pemudi yang bisa diharapkan untuk memajukan negeri, bukanlah pemuda pemudi dengan mental blok, pesimisme dan perasaan penuh luka.
            Anggapan bahwa jurusan tertentu lebih unggul dari jurusan yang lain, harus dihilangkan. Pelajar unggul dalam bidangnya masing masing. Pelajar jurusan IPS akan menjadi sejarahwan atau ekonom handal. Pelajar jurusan Bahasa akan menjadi antropolog, budayawan atau translator yang dapat menerjemahkan buku buku ilmu pengetahuan dari luar negeri dan membantu pembelajaran di Indonesia. Pelajar IPA akan menjadi ahli matematika atau kimiawan. Tidak semestinya menghakimi pelajar dengan kata kata ‘bodoh’, ‘bego’, sebab mereka memiliki bakat dan kompetensi di bidang yang berbeda.
            Guru yang merasa tidak disukai siswa, tidak sepatutnya melancarkan serangan balasan dengan sarkasme pada ucapannya lantas bersikap antipati. Guru semestinya memperhatikan kesulitan siswa sebab guru bukan dosen yang bisa melepas mahasiswa sebab dianggap mandiri.
Sugesti sugesti positif harus diberikan dengan kata kata persuasif yang lembut tapi mengena. Sugesti itu sendiri adalah proses mempengaruhi secara kejiwaan yang meliputi pikiran, perasaan dan kemauan sehingga orang yang dipengaruhi mengikuti atau berbuat seperti yang disugestikan padanya.
Guru adalah salah satu orang yang mempunyai pengaruh sugesti yang besar. Sebab sugesti dapat berhasil karena adanya faktor kecakapan, kedudukan, kejujuran, kehormatan, dan lain lain. Dalam hal ini, guru adalah sosok yang dikenal cakap, memiliki kedudukan lebih tinggi dari pelajar, dan cerdas.
Sugesti dapat dilancarkan dengan bujukan sederhana. Bisa juga dengan pujian sederhana yang diikuti dengan kritik konstruktif. Dengan begitu, pelajar merasa dihargai dan merasa dituntun untuk lebih maju  dalam waktu yang bersamaan. Kemampuan pelajar menelaah mata pelajaran tidak semata mata bergantung pada durasi belajar akan tetapi juga bergantung pada hubungan psikologis guru dan pelajar. Guru yang menyebalkan dan membosankan pasti tidak disukai para pelajar. Secara otomatis mereka juga tidak menyukai pelajaran yang disajikan guru tersebut. Ini adalah salah satu pemicu kebodohan.
Untuk mensugesti pelajar agar bisa keluar dari mental bloknya, guru juga sepatutnya membuat dirinya terlihat layak menjadi orang yang diperhatikan dan dituruti. Rapi, wangi, ramah, menyenangkan, berwawasan luas adalah kriteria guru yang disukai para pelajar. Penuh simpati dan empatik, menggunakan bahasa yang baik dan mudah dicerna memperkuat keniscayaan agar sugestinya berhasil. Guru juga boleh memotivasi pelajarnya dengan kisah nyata maupun fiktif. Karena ada beberapa orang yang mudah trenyuh dan tergerak hatinya jika mendengar cerita. Inilah yang harus diusahakan oleh guru, memahami karakter siswanya.
Keberhasilan sugesti dan motivasi yang diberikan guru akan muncul sebagai tendensi. Pada pelajar yang kurang mampu belajar, keberhasilan motivasi mungkin akan muncul pada tendensi abstrak yang positif yang nampak pada sikap patuh, rajin, tekun, pantang menyerah, bertanggung jawab, dan lain lain. Pada anak yang kurang bisa menjaga hubungan dengan orang lain, akan muncul tendensi sosial yang tercermin pada sikapnya yang bersahabat, setia kawan, murah hati, senang membantu, dan sebagainya.
Memang, guru bukanlah psikolog atau psikiater yang peka terhadap gejala kejiwaan atau mental seseorang. Namun, setidaknya guru tidak ikut menjadi programmer dan pemupuk mental blok para pelajar. Baik sekali jika guru dapat menyingkirkan mental blok pada siswa dengan pendekatan intensif. Sangat tidak patut jika guru menggemakan slogan “Terserah mau pintar atau bodoh. Pokoknya saya masuk kelas dan digaji”. Harus diingat bahwa negara membutuhkan kawula muda yang kelak memajukan negaranya, dan kawula muda itu sedang belajar dibawah bimbingan guru. Mengajar bukan hanya sekedar pekerjaan, tapi tanggung jawab besar dan dedikasi.